Berkali-kali Nisa menguap menahan kantuk. Namun, rasa kantuknya,
tidak membuat Nisa menyerah untuk menunggu kepulangan bapaknya dari menarik
becak. Nisa masih setia duduk di teras rumah. Sementara matanya awas melihat jalan
setapak di depan rumahnya.
Sementara
itu, emak Nisa sudah dari sejam yang
lalu terlelap dalam tidurnya karena kecapekan. Seharian ini emak membantu tetangga samping rumah yang sedang
menyelenggarakan hajat pernikahan anaknya.
Sudah jam 10 malam, namun belum juga
terlihat tanda-tanda kepulangan bapak. Nisa sengaja mengucuk-ucek matanya untuk
mengurangi rasa kantuk yang semakin menyerang.
Tiba-tiba Telinga Nisa mendengar suara berdecik sadel yang diontel. Benar saja tak
lama kemudian bapak Nisa meuncul dari
ujung jalan sambil menggenjot becak
tuanya. Nisa bergegas mempersiapkan diri untuk menyambut bapak.
Bapak heran melihat Nisa yang berdiri
di teras rumah menyambut kepulangannya. Biasanya jika bapak pulang Nisa sudah
tidur atau asyik mengerjakan tugas di kamar.
Nisa
mengamati bapak yang sedang memarkir bacaknya di halaman rumah. Muka bapak
terlihat kuyu dan lesu. Mungkin, bapak kelelahan setelah seharian, dari pagi
sampai malam menarik becak.
Usia bapak belum terlalu tua, sekitar 40
tahunan. Namun, karena beban hidup yang berat, wajah bapak jadi terlihat lebih tua dari aslinya. Bapak
adalah tulang punggung keluarga. Profesinya sebagai tukang becak dengan
penghasilan yang minim membuat bapak harus kerja keras untuk membiayai hidup keluarganya, emak dan Nisa.
Oleh
karena itu bapak bekerja keras banting tulang siang malam. Selain sebagai
tukang becak, bapak juga rajin membantu pak Hadi, juragan tanah, di sawah saat
musim panen tiba. Emak terkadang juga
menerima panggilan untuk mencuci, hitung-hitung untuk membantu menambah penghasilan keluarga.
“Kamu belum tidur nak?” tanya
bapak pada anak semata wayangnya yang
duduk di bangku SMP ini.
Nisa menggeleng sambil menyalami tangan kasar bapak dan menciumnya
dengan hormat.
“Bapak Nisa mau bicara,” ucap Nisa ketika mereka
berdua sudah duduk di kursi ruang tamu. Nisa mengangsurkan secangkir teh yang
sudah lumayan dingin karena sudah dibuat sejam yang lalu..
“Bicara apa nak?” tanya bapak serius
menatap Nisa, siap mendengarkan. Walaupun rasa capek terlihat jelas di wajah
bapak.
Nisa diam sebentar nampak ragu untuk
mengungkapkan isi hatinya..
“Bapak, teman sekelas Nisa mau
mengadakan acara buka bersama. Nisa boleh ikut?” tanya Nisa.
“Tentu saja boleh Nis.”
“Tapi Nisa harus bayar iuran buka bersamanya pak,”
ucap Nisa nampak ragu-ragu.
Bapak terdiam, nampak sedang
memikirkan sesuatu. Namun, kemudian seulas senyum menghiasi wajah bapak yang
nampak kelelahan.
“Berapa iuarannya?” tanya bapak.
“Empat puluh ribu pak,”jawab Nisa
pelan.
“Soalnya kita makan di cafe Jendela
pak,” Nisa menyebutkan nama sebuah tempat makan baru di lingkungan mereka.
“Semua teman-teman Nisa ikut pak.
Nisa juga ingin ikut,” ucap Nisa lagi sambil menunduk.
“Nanti bapak usahakan cari uangnya
ya. Kamu tidak usah khawatir. bapak jamin kamu bisa ikut acara itu,” jawab bapak Nisa. Nisa tahu kalau bapak tidak ingin mengecewakannya.
Uang
40 ribu tentu bukan jumlah sedikit bagi bapak apalagi penghasilan bapak yang
hanya sebagai tukang becak. Namun, Nisa ingin sekali ikut buber bersama teman-teman sekelasnya. Nisa juga ingin mencoba
makan di tempat makan baru yang makanannya dan tempatnya terkenal enak itu..
Nisa
tidak ingin di cap kudet oleh
teman-temannya karena tdak ikut acara buber. Biarlah kali ini Nisa mengijinkan egonya untuk
menang. Selama ini, Nisa selalu mengalah
untuk menahan diri meminta uang banyak kepada bapak. Pernah Nisa tidak ikut studi tur karena biayanya yang
sangat besar bagi keluarga Nisa. Nisa juga
memilih membawa bekal ke sekolah daripada meminta uang saku ke bapak.
Namun,
entah kenapa untuk yang satu ini Nisa ingin sekali ikut. Sekali-kali Nisa juga ingin makan enak dan berkumpul bersama
teman-temannya. Jadi tak apa jika sekali-kali Nisa meminta uang lebih kepada
bapak.
Sebenarnya
Nisa sendiri mempunyai tabungan, tapi Nisa berencana menggunakan tabungannya
untuk membeli baju baru buat lebaran besok dan itupun masih belum cukup.
*
Hari ini bapak pulang awal. Dengan
gembira bapak menyerahkan uang 40 ribu kepada Nisa.
“Kamu bisa ikut buka bersama
teman-temanmu Nis.”
“Makasih ya pak,” ucap Nisa sangat
senang sambil menerima uang itu. Di mata Nisa sudah terbayang makanan enak
sambil berkumpul dengan teman-temannya.
Emak tersenyum melihat kebahagiaaan
Nisa.
“Ayo kita berangkat shalat Terawih sudah terdengar azan,” ingat emak sambil
menyiapkan mukenanya.
“Ayo pak kita berangkat shalat
Terawih,” ajak Nisa.
Bapak hanya terdiam.
“Bapak sholat dirumah saja. Bapak
capek,” terang bapak sambil memijit-mijit tangannya.
Nisa
mengangguk. Kemudian bergegas mengambil air wudhu.
Sepulang dari shalat Terawih tidak
sengaja Nisa lewat depan kamar bapak yang terbuka. Nisa melihat bapaknya sedang
khusuk sholat.
Namun,
pandangan Nisa langsung tertuju ke sarung bapak. Sarung bapak yang sudah lusuh
sobek lumayan panjang dibagian bawah, sehingga celana panjang bapak kelihatan.
Padahal Nisa tahu kalau itu adalah kain sarung satu-satunya yang bapak punya. Mungkin
karena termakan usia dan selalu dipakai, kain sarung bapak jadi rapuh.
Nisa tba-tiba tercekat. Mungkin ini
yang membuat bapak malu untuk sholat Terawih di masjid, karena Ramadhan tahun
lalu dan hari-hari biasa bapak sangat rajin untuk sholat di masjid yang tidak
terlalu jauh dari rumah.
Ada rasa sedih yang muncul tiba-tiba
di hati Nisa
*
Gema tabir berkumandang dengan
khidmatnya. Orang-orang dewasa dan anak kecil bergembira berkeliling kampung
untuk mengagungkan Allah SWT. Semua orang bahagia menyambut datangnya hari
penuh kemanangan yang akan dirayaan esok hari.
Nisa, emak dan bapak nampak sedang
berkumpul bersama di ruang tamu. Mereka habis buka dan sholat maghrb berjamaah
bersama.
“Bapak Nisa ada sesuatu buat bapak,”
ucap Nisa sambil menyerahkan bungkusan coklat ke bapaknya.
Bapak dan emak heran melihat
bungkusan coklat itu.
“Apa ini Nis?” tanya bapak heran
“Buka aja pak. Bukanya sambil baca
bismillah ya,” perintah Nisa sabil tersenyum penuh rahasia.
“Bismillah,” ucap bapak dan emak
berbarengan.
Tangan bapak langsung membuka
bungkusan itu dengan cekatan. Alangkah terkejutnya bapak ketika melihat isi
bungkusan itu. Sebuah sarung.
Bapak memandang Nisa dengan penuh
haru. Mata bapak nampak berkaca-kaca.
“Maafkan Nisa ya pak, mak. Nisa
janji tidak akan egois lagi.” ucap Nisa lirih
“Kenapa kamu meminta maaf seharusnya
bapak yang terimakasih sama kamu,” ucap bapaknya sambil membelai bahu Nisa
dengan sayang.
“Sarung ini dibeli dari uang 40 ribu
dari bapak pak. Nisa hanya menambahi sedikit dari tabungan Nisa.”
Bapak dan emak saling berpandangan
dan tersenyum.
“Terimakasih ya Nis karena kamu
mengorbankan acara buka bersama demi sarung bapak,” ucap bapak sambil memeluk
Nisa.
“Besok kita sholat id bareng di masjid ya pak,”
mohon Nisa.
Bapak menangguk.
Nisa senang karena sekarang pasti
bapak tidak malu lagi untuk ke masjid mengenakan sarung barunya.
Note : Salah satu Cerpenku yang ditolak redaksi
terharu
BalasHapushttp://bit.ly/1dWtJid