Rabu, 09 Februari 2011

Kompetisi penulisan kontribusi bangsa dan negara UGM

Oleh : Marsya Sinarani



Ketika, efek dari bencana  letusan gunung merapi sudah sedikit mereda,  Tiba-tiba pada hari Senin (29/11/10) petang, banjir lahar dingin  melanda  kali Code. Banjir lahar dingin tersebut menyebabkan ratusan rumah yang berada di bantaran kali Code terendam air hingga mencapai ketinggian atap rumah. Banjir  lahar dingin yang tiba-tiba tersebut juga menyebabkan beberapa warga terpaksa mengungsi untuk menghindari banjir. (Kompas.com)
            Merapi  sejak melakukan erupsi   pada  tanggal 26 Oktober lalu  yang dilanjutkan dengan erupsi eksplosif yang lebih besar lagi pada tanggal 3 dan 4 November telah membawa banyak  dampak bagi kita semua, terutama bagi  warga di sekitar lereng merapi. Mulai dari  dampak korban jiwa, sejak merapi meletus hingga sekarang tercatat lebih dari 200 orang meninggal dunia. Selain korban jiwa, letusan merapi juga  menyebabkan ribuan orang mengungsi, ratusan rumah rusak dan ribuan hewan  ternak mati. Sekarang, giliran  warga yang tinggal di sekitar bantaran kali code yang terkena dampak dari erupsi merapi yaitu banjir lahar dingin yang merendam  ratusan rumah  warga.
            Merapi yang terletak di dua provinsi yaitu Jawa Tengah dan Yogyakarta memang seperti  dua sisi mata uang yang berbeda   . Di  saat gunung teraktif di Asia ini  tenang, merapi laksana dewi  cantik yang sedap untuk dipandang mata dan menarik hati  para petualang untuk mendaki serta ‘menakluk’kannya . Selain itu,  kawasan di sekitar  merapi juga memiliki tanah yang subur  sehingga akan sangat menguntungkan  bagi petani untuk bercocok tanam dan ladang surga bagi hewan-hewan ternak untuk mencari makan.
            Namun, sayang terkadang merapi pun bisa mengamuk bak monster, karena merapi memang gunung yang sangat aktif yang setiap saat bisa saja meletus. Jika dilihat dari sejarah merapi, merapi pernah meletus beberapa kali, diantaranya letusan yang sangat besar,  bahkan letusan merapi juga pernah mengubah sejarah.
Letusan besar Merapi pernah terjadi diantara tahun 800 dan 1300 Masehi, Letusan merapi pada masa itu diduga telah menyebabkan  Kerajaan Mataram Hindu yang berpusat di
Jawa Tengah dan DI Yogyakarta  berpindah ke Jawa Timur. Letusan besar merapi lainnya terjadi pada tahun 1587, 1672, 1768, 1822, 1872 dan beberapa letusan relatif kecil yang terjadi pada tahun 1984, 1992, 1994, dan 2006.
            Ketika merapi meletus, merapi akan mengelurkan beberapa material seperti lava , awan panas dan  lahar dingin . Sejak merapi melakukan erupsi  pada tanggal 26 Oktober lalu,  merapi telah mengeluarkan  lebih dari 11 juta meter kubik material yang dikeluarkan dari kubah lava. Tentu saja material yang dikeluarkan merapi akan sangat mengancam warga di sekitar lereng gunung merapi seperti misalnya material awan panas dan lahar dingin.
            Awan panas atau  pyroclastic flow atau yang lebih dikenal dengan sebutan wedhus gembel  adalah aliran gas dari dalam perut gunung api yang membawa material batu, kerikil , pasir dan debu. Kecepatan alirannya bisa mencapai 100 km/jam tergantung pada tekanan dari dalam merapi.
            Sementara itu lahar dingin adalah aliran air (air hujan, salju yang meleleh) yang bercampur rombakan tefra (material vulkanik) yang masih lepas-lepas, berasal dari bagian atas tubuh gunung api dan  mengalir dengan kecepatan dan densitas yang tinggi sehingga mampu melanda dan membawa serta bongkah batu berdiameter sampai 2 meter. Suhu lahar dingin adalah sama dengan suhu di sekitarnya dan lahar dingin inilah yang sekarang membanjiri kawasan di sekitar kali code dan menyebabkan ratusan rumah terpendam.
            Namun, bukan berarti “ganasnya” merapi akan  menyurutkan niat para warga untuk kembali lagi menghuni daerah sekitar merapi jika gejolak merapi sudah kembali mereda. Karena selain  merapi masih mempunyai daya tarik  keindahan dan tanahnya yang subur , warga juga memiliki suatu budaya dengan merapi yang sudah mengakar kuat.
            Kita tentu masih mengingat kejadian dimana ketika merapi pertama kali meletus pada tanggal 26 Oktober lalu yang menyebabkan juru kunci Merapi, Mbah Maridjan dan belasan warga Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Yogyakarta meninggal dunia diterjang  oleh awan panas karena mereka menolak untuk mengungsi.
Juru kunci Merapi yang bergelar Mas Penewu surakso Hargo ini   sempat menjadi sosok kontroversial ketika merapi meletus pada tahun 2006, pada waktu itu mbah Maridjan menolak untuk mengungsi sesuai dengan himbauan dari pemerintah dan petugas , bahkan Sri Sultan Hamengkubuwono X juga  ikut membujuk  mbah Maridjan agar mau   mengungsi.
            Namun mbah Maridjan tetap tidak bergeming dengan alasan, bahwa setiap  orang memiliki tugas sendiri-sendiri dan mbah Maridjan juga mempunyai tugas untuk tetap menjaga merapi seperti kutipan pernyataannya ini  “Setiap orang punya tugas sendiri-sendiri, wartawan, polisi, tentara punya tugas. Saya juga punya tugas untuk tetap disini,” begitu kata mbah Maridjan  seperti dikutip dalam (http://www.frankgarsel.web.id/2010/10/mbah-marijan-meninggal-dunia.html).  Hal ini membuktikan bahwa mbah Maridajn sangat setia dan total mengabdikan hidupnya untuk menjaga merapi seperti yang diamanahkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang telah mengangkatnya.
            Merapi memang memiliki keunikan tersendiri dan pengaruh budaya yang kuat yang melingkupinya. Seperti kisah mbah Maridjan , seorang juru kunci merapi yang sangat memegang teguh tradisi dan kepercayaan terhadap  keraton .
            Selain itu penduduk di sekitar merapi juga  ada yang  menyebut ‘penguasa’ gunung merapi sebagai mbah petruk. Sebutan mbah dipakai karena masyarakat  menganggap  gunung merapi sebagai kakek yang telah melindungi dan mengayomi mereka selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Bahkan ketika merapi meletus, masyarakat masih berbaik sangka dengan menyebut bahwa erupsi yang terjadi pada beberapa hari yang lalu  terjadi karena mbah petruk sedang menggelar hajatan.
Selain itu ada juga masyarakat yang menyebutkan bahwa merapi melakukan erupsi karena merapi ingin ‘bersetubuh’ atau menyatu dengan alam di sekitarnya sehingga nantinya  akan menghasilkan tanah yang subur  di sekitar gunung merapi .
Masyarakat disekitar lereng gunung merapi memiliki keyakinan yang hidup dalam dirinya bahwa gunung dan segala isinya dan juga makhluk hidup  yang mendiami wilayah ini adalah suatu komunitas. Karena itu ada hubungan yang saling menjaga dan melindungi anatra masyarakat dan alam (merapi). Oleh karena itu meskipun mereka tahu merapi masih akan terus mengancam , masyarakat  tidak akan  dengan mudahnya mau meninggalkan merapi.
            Lalu apa yang dapat kita tarik kesimpulan dan kita lakukan jika melihat hal tersebut. Tentunya kita tidak ingin melihat saudara-saudara kita yang tinggal di sekitar lereng gunung merapi menderita lagi jika merapi kembali meletus. Namun, kita juga tidak  ingin ‘merubuhkan’ budaya masyarakat merapi yang sudah mengakar kuat di hati para warganya bukan?


1.       Relokasi masih Pentingkah ?
Mungkin hal pertama yang terpikir oleh sebagian dari  kita jika kita melihat kenyataan erupsi   merapi yang dimulai sejak 26 Oktober lalu  dan jumlah korban yang menyertainya adalah mengapa  tidak direlokasikan saja warganya ke tempat yang lebih aman jika pelu jauh dari merapi? Karena seperti kita ketahui sebagai gunung aktif, merapi akan  melakukan erupsi kembali  hanya waktunya saja yang kita tidak pernah tahu kapan.
Meletusnya merapi memang  telah meninggalkan kenangan pahit bagi mereka yang terpaksa harus kehilangan salah satu  anggota kelurga atau sanak saudaranya, kehilangan  tempat tinggal, dan kehilangan ternak-ternaknya.  
Namun, seperti telah disebutkan di atas walaupun terkadang  merapi “mengamuk”, masyarakat di sekitar gunung merapi masih berprasangka baik terhadap merapi dengan mengangap bahwa letusan gunung merapi terjadi karena mbah petruk sedang menggelar hajatan dan setelah itu semuanya akan kembali baik-baik saja.
 Masyarakat merapi   telah menganggap merapi sebagai bagian dari mereka. Mereka menganggap merapi adalah  pelindung dan pembawa berkah bagi mereka dengan tanahnya yang subur . Selain itu, merapi juga telah  menjadi bagian dari budaya masyarakat setempat yang tidak terpisahkan. Pertanyaannya, lalu bagaimana jika  masyarakat merapi harus berpisah dengan merapi karena relokasi ? Sanggupkah masyarakat merapi berpisah dengan ‘pelindung dan pembawa berkah’ nya  ?
Wacana relokasi memang sudah sejak lama didengungkan oleh pemerintah yang kabarnya sekarang sedang digodog. Namun, sayangnya relokasi sepertinya hanya milik pemerintah saja  karena masyarakat di daerah merapi tidak pernah dilibatkan dalam hal ini. Masyarakat merapi tidak pernah diajak duduk bersama untuk mendiskusikan masa depan mereka. Menurut  pemerintah mungkin relokasi itu penting dan perlu, namun, belum tentu bagi masyarakat di sekitar merapi.
Seharusnya pemerintah dan masyarakat merapi duduk bersama untuk  membicarakan masa depan masyarakat merapi. Tentunya tidak semua masyarakat merapi  menolak  wacana relokasi. Mungkin ada masyarakat yang menerima relokasi dan ada juga masyarakat yang menolak untuk direlokasi. Disini masyarakat merapi harus dibebaskan untuk memilih masa depannya Jadi janganlah kita langsung underestimate dengan wacana relokasi, namun yang perlu diperhatikan adalah relokasi yang dilakukan juga harus mau dan mampu menampung aspirasi masyarakat yang akan direlokasi.
  Pemerintah harus menfasilitasi masyarakat yang mau direlokasi dan masyarakat yang masih ingin kembali ke merapi.  Masyarakat  yang lebih memilih untuk direlokasi, pemerintah wajib menyediakan  lahan dan membangunkan rumah untuk mereka di lokasi baru nanti. Namun, dalam membangun ‘rumah’ baru untuk mereka pemerintah juga harus memperhatikan beberapa hal. Diantaranya adalah merelokasi warga berdasarkan kedekatan dalam masyarakat. Maksudnya dalam merelokasi warga, warga yang berasal dari satu desa atau satu kawasan sebaiknya ditempatkan di lokasi relokasi yang sama. Hal ini dilakukan supaya warga tidak terlalu “kaget” di wilayah barunya dan hal tersebut juga akan membangun rasa “nyaman” bagi warga untuk menata hidupnya kembali.
Masalah lainnya yang perlu diperhatikan adalah dalam menentukan tempat relokasi juga harus diperhatikan mata pencaharian masyarakat merapi . Ketika warga kembali ke  kehidupan normalnya dengan rumah barunya, tentunya  warga akan kembali beraktivitas,  salah satunya adalah kembali menekuni pekejaan yang sudah lama ditinggalkannya. Seperti kita ketahui rata-rata mata pencaharian masyarakat merapi adalah beternak sapi  dan bertani. Sehingga pemerintah harus berusaha  mencari tempat relokasi yang disesuaikan dengan mata pencaharian penduduk, agar mereka bisa kembali bekerja.
Bolehlah pemerintah berjanji akan mencarikan pekerjaan baru bagi mereka  yang lebih menjajikan. Namun, apakah ini akan berhasil?  Tentunya diperlukan waktu yang lama bagi  warga untuk beradaptasi dengan pekerjaan barunya? Selain itu juga perlu diberikan  pelatihan dan pengawasan secara terus menerus agar warga dapat berhasil dalam pekerjaan barunya.
Namun, sayangnya terkadang pemerintah setelah ‘memberi’ pekerjaan akan ‘meninggalkan’ warga begitu saja. Membiarkan warga bergelut sendiri dengan pekerjaan barunya yang masih asing. Hal ini bisa saja menyebabkan warga menjadi  bosan karena tidak terbiasa dengan pekerjaan barunya dan tidak menutup kemungkinan warga akan meninggalkan pekerjaan barunya tanpa tahu harus berbuat apa. Jika ini terjadi dan dibiarkan tentu akan menimbulkna masalah baru lagi buat mereka.
Oleh karena itu,  dalam menentukan tempat relokasi baru bagi warga,  pemerintah juga harus mempertimbangkan dan memperhatikan wilayah yang mendukung mata pencaharian warga. Selain tentunya dengan masih menampung aspirasi warga yang lain.
            Kembali ke awal, untuk masyarakat merapi yang menolak direlokasi dan memilih untuk kembali ke tempat tinggalnya, kita juga harus menghormati kehendaknya tersebut. Karena kita tahu masyarakat masih terikat dengan budaya kuat merapi dan mereka tidak dapat dengan mudahnya pindah begitu saja dari merapi. Oleh karena itu,  pemerintah juga harus  menfasilitasi masyarakat yang ingin kembali ke tempat asalnya  dulu di merapi.
            Pemerintah sebaiknya membantu masyarakat untuk membangun kembali rumah-rumah mereka  yang hancur. Membantu masyarakat untuk menata kembali kehidupannya agar dapat bangkit secara perlahan namun pasti . Setelah itu cukupkah sampai disini? Tentu saja tidak. Mengingat merapi akan kembali mengancam. Tentunya kita akan senang melihat masyarakat hidup kembali berdampingan dengan budaya yang sudah melekat dengannya. Namun, kita juga tidak dapat ‘meninggalkan’ masyarakat merapi begitu saja, mengingat bahaya erupsi merapi  akan kembali mengintai masyarakat merapi disana . Untuk itu  kita perlu membentuk masyarakat  merapi yang “sadar bencana”.  Sehingga masyarakat merapi dapat melindungi dirinya sendiri dari ancaman merapi.

2.      Menciptakan Masyarakat dan Semua Elemen yang Sadar Bencana
Merapi sudah beberapa kali meletus, namun masih saja timbul korban jiwa dengan jumlah yang tidak sedikit  dalam letusan 26 Oktober lalu.  Selain itu,  penanganan bencana merapi kemarin  pun dirasa masih   kurang maksimal.  Apakah  hal ini menandakan bahwa   kita kurang dapat belajar dari pengalaman ?
            Seperti kita ketahui, masyarakat merapi hanya mengandalkan naluri berdasarkan  tanda-tanda  alam untuk menentukkan kondisi merapi atau biasa disebut dengan niteni. Misalnya jika mereka melihat hewan-hewan di hutan merapi turun berbondong-bondong dari gunung, maka hal ini menunjukkan jika  aktivitas merapi sedang tinggi. Begitu juga dengan mbah Maridjan yang terbiasa niteni. Kebiasaan ancaman gunung merapi yang tidak pernah merambah dukuh Kinahrejo, tempat tinggal mbah Maridjan,  memberikan pelajaran niteni kepada mbah Maridjan bahwa daerahnya aman. Sehingga mbah Maridjan menolak untuk mengungsi pada erupsi merapi tanggal 26 Oktober  karena masih merasa aman . Namun, ternyata erupsi  pada tanggal 26 Oktober lalu berkata lain.
            Kemampuan penduduk dalam melihat tanda-tanda alam tersebut atau niteni  akan menjadi lebih baik lagi jika  didukung juga dengan teknologi. Seperti kita ketahui di setiap gunung berapi pasti ada pos pemantau merapi. Pos pemantau aktivitas gunung merapi melalui alatnya dapat mengetahui kondisi serta aktivitas merapi dan membuat status merapi seperti awas, waspada, dan siaga berdasarkan kondisi merapi. Keberadaan pos pemantauan aktivitas merapi ini perlu dioptimalkan keberadaannya. Pos pemantuan merapi harus secara berkala melaporkan status merapi kepada seluruh penduduk, agar penduduk mengetahui kondisi merapi dan dapat berjaga-jaga.
            Selain itu warga di sekitar lereng merapi  juga   harus diberikan ilmu pengetahuan tentang gunung api  serta cara untuk penyelamatan diri  jika merapi meletus kembali. Seperti misalnya apa yang harus dilakukan warga  jika merapi kembali melakukan erupsi. Inilah salah satu masalah yang masih  mebingungkan warga jika merapi meletus, kebanyakan warga masih  bingung harus  lari dan mengungsi kemana.
Untuk itu belajar dari pengalaman letusan 26 Oktober lalu pihak-pihak terkait harus membuat sebuah  skenario jika merapi meletus kembali  sehingga semuanya akan berjalan dengan lancar.
Skenario pertama pihak-pihak  terkait harus membuat peta jalur evakuasi bagi penduduk merapi . Belajar dari letusan kemarin  kita dapat mengetahui  kemana arah luncuran material merapi, daerah mana saja yang rawan terkena luncuran dan daerah mana yang aman untuk dilalui. Sehingga belajar dari hal tersebut, pemerintah dan pihak-pihak terkait dapat  membuat peta jalaur evakuasi jika merapi kembali meletus Sehingga jika sewaktu-waktu terjadi letusan kembali, masyarakat di sekitar lereng merapi tahu harus menuju ke daerah mana yang aman dengan melalui jalur yang aman juga. masyarakat merapi tidak akan bingung dan tahu apa yang harus mereka lakukan. Nantinya peta jalur evakuasi ini harus  disosialisasikan kepada seluruh warga merapi yang rawan terkena dampak letusan gunung merapi.
Skenario kedua adalah perlu diadakannya latihan bersama jika merapi meletus. Belajar dari Jepang, seperti kita ketahui Jepang merupakan Negara yang sering mengalami gempa bumi. Belajar dari pengalamannya tersebut, Jepang selalu mengadakan latihan menghadapi gempa bumi, bahkan pelatihan ini juga wajib diajarkan kepada anak-anak yang masih duduk di TK. Sehingga jika sewaktu-waktu gempa bumi datang, mereka sudah tahu apa saja yang harus dilakukan.
Jadi, tidak ada salahnya kita meniru Jepang dengan mengadakan latihan bersama jika merapi meletus. Selain untuk  membuat masyarakat menjadi  lebih  aware dan tahu apa yang mesti diperbuat jika merapi meletus kembali , pelatihan ini juga dimaksudkan untuk meminimalkan korban jiwa yang jatuh jika merapi benar-benar meletus.  
Kesadaran tanggap bencana juga harus dilakukan oleh semua elemen tidak hanya warga sekitar merapi. Pemda Sleman, Pemda  Yogyakarta, dan Pemda  Jawa Tengah  juga harus lebih bersiap lagi jika merapi kembali meletus.
Lagi-lagi belajar dari pengalaman, pemerintah harus menentukkan tempat pengungsian khusus bagi penduduk  di sekitar lereng merapi. Letusan merapi kemarin menyebabkan ribuan warga mengungsi, namun sayangnya dalam mengungsi warga masih menyebar tidak terpusat ke dalam  beberapa lokasi, sehingga hal ini akan menyulitkan dalam pemberian bantuan bagi para pengungsi.
Untuk itu pemerintah harus menyiapkan lokasi pengungsian yang harus dituju warga jika merapi kembali meletus. Jika pemerintah punya cukup uang pemerintah dapat membuat tempat pengungsian permanen, mengingat mungkin saja merapi akan kembali meletus lagi, sehingga tempat ini dapat digunakan untuk para pengungsi merapi  dan pengungsi akibat bencana lainnya.
Namun, jika tempat pengungsian permanen sulit terealisasikan,  pemerintah dapat menentukan tempat-tempat yang sekiranya dapat dijadikan tempat mengungsi dan tidak menganggu aktivitas warga lain . Seperti misalnya jangan menjadikan sekolah sebagai tempat mengungsi seperti yang kita lihat beberapa waktu yang lalu , karena proses belajar mengajar akan menjadi sedikit terhambat. Gunakanlah  tempat-tempat yang sekiranya tidak terlalu menganggu aktivitas warga lain seperti misalnya penggunaan stadion Maguwo.
Terlibatnya pihak kampus dalam menyediakan tempat pengungsian perlu kita apresiasi dan acungi jempol, seperti UGM yang menjadikan gelanggang sebagai tempat mengungsi dan UNY yang menyediakn GORnya untuk para pengsungsi merapi.
Disini keterlibatan kampus juga perlu dikembangkan lagi tidak hanya sebatas menjadi tempat pengungsian dan mahasiswanya menjadi relawan . Seperti kita ketahui di Universitas terdapat banyak orang-orang pintar dan peneliti-peneliti cerdas, jadi sudah sewajarnya pihak universitas juga turut memikirkan cara untuk mengatasi masalah di Merapi ini dengan menyumbangkan ide, pemikiran dan teknologi. Misalnya bagaimana caranya agar warga merapi tetap dapat tinggal di merapi, dekat degan budayanya, Namun juga dapat terhindar dari letusan merapi berikutnya yang mungkin saja akan terjadi kembali.
Terakhir , Kita tentu senang melihat masyarakat merapi  merasa senang bisa kembali ke merapi, kembali ke budaya mereka dan kembali ke kehidupan mereka. Namun, kita juga harus memikirkan kehidupan yang aman dan nyaman untuk kehidupan masyarakat merapi. Dengan menciptakan masyarakat merapi yang sadar  dan tanggap bencana tentunya akan membuat masyarakat merapi menjadi lebih siap siaga lagi jika merapi akan melakukan erupsi kembali.

3.      Solusi untuk Kali Code
Lahar dingin merapi akan mengaliri sungai-sungai yang berhulu di puncak merapi, salah satunya adalah kali Code. Banjir kali code pada hari Senin (29/11/10) petang telah mengakibatkan puluhan  rumah terlelap air dan ratusan warga mengungsi.
Jika kita perhatikan banyak bantaran kali Code yang dijadikan sebagai tempat pemukiman padat penduduk. Rumah-rumah permanen maupun non permanen didirikan. Padahal hal tersebut sangat tidak baik untuk ekosistem sungai dan juga keamanan warga karena bisa saja jika musim hujan datang kali akan meluap dan masuk ke rumah warga atau seperti peristiwa banjir lahar dingin di kali Code.
Selain itu warga yang hidup di pinggiran  kali Code juga  melakukan hal-hal yang dapat mencemari sungai seperti mencuci pakaian dan alat rumah tangga di sungai, membuang sampah, dan juga mandi di sungai.  Perilaku  ini tentu saja akan berdampak buruk bagi kelestarian sungai dan tentunya kesehatan warga sendiri.
Warga tinggal di bantaran kali Code karena pada umumnya  mereka ‘tidak punya pilihan tempat tinggal’ dan kebanyakan dari mereka  mendirikan rumah non permanen yang sangat kecil dan itu tidak layak huni.
Pemerintah Yogyakarta harus tegas dalam menata kotanya, seperti mensterilkan daerah bantaran kali Code dari pemukiman penduduk. Hal ini tentunya untuk melestarikan lingkungan sungai dan menjaga agar air sungai tidak tercemar.
Namun, tugas pemerintah tidak hanya berhenti sampai disni saja, pemerintah  harus memikirkan tempat baru bagi warga kali Code untuk direlokasi. Sama seperti warga lereng merapi , jika warga kali Code harus direlokasi pemerintah pun harus memperhatikan berbagai aspek yang kepentingan warga kali Code dan tetunya pemerintah harus mendengarkan aspirasi warga. Karena ini semua bukan untuk kepentingan pemerintah tetapi juga menyangkut kepentingan warga kali Code.


           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar